Pada hari-hari ini di berbagai media sosial dikejutkan dengan Ekaristi Kaum Muda, yang dikemas dengan pertunjukkan drama di depan altar, atau lebih tepatnya di area panti imam, dengan menampilkan anak-anak muda mengenakan busana tak pantas (perempuan: mengenakan hot pants). Sebenarnya sudahkah kita mengerti apa itu altar? Altar Katolik merupakan sebuah altar pengorbanan. Mengapa Altar dihormati? Altar dihormati karena altar melambangkan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Tuhan yang telah wafat dan bangkit akan hadir di atas altar dan dari meja ini Dia akan memberikan diri-Nya kepada umat beriman dalam rupa makanan dan minuman ekaristis.
PUMR, 296 merumuskan
Altar merupakan tempat untuk menghadirkan kurban salib dengan menggunakan tanda-tanda sakramental. Sekaligus altar merupakan meja perjamuan Tuhan, dan dalam Misa umat Allah dihimpun di sekeliling altar untuk mengambil bagian dalam perjamuan itu. Kecuali itu, altar merupakan juga pusat ucapan syukur yang diselenggarakan dalam Perayaan Ekaristi.
Altar secara tradisional terbuat dari batu, mengingatkan Kristus sebagai landasan hidup dari iman Katolik:
Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. (Ef 2:19-20)
Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani yang karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah. Sebab ada tertulis dalam Kitab Suci: "Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu yang terpilih, sebuah batu penjuru yang mahal, dan siapa yang percaya kepada-Nya, tidak akan dipermalukan." (1Ptr 2:4-6)
Tepat untuk memiliki sebuah altar tetap di setiap gereja, karena itu lebih jelas dan permanen menandakan Yesus Kristus, batu hidup.
PUMR 298 dan 301 menerangkan:
- Sangat diharapkan agar dalam setiap gereja ada satu altar permanen, karena altar seperti ini secara jelas dan lestari menghadirkan Yesus Kristus, Sang Batu Hidup ( I Ptr 2:4; bdk Ef 2:20 ). Tetapi di tempat-tempat lain yang dimanfaatkan untuk perayaan liturgi, cukup dipasang altar geser.
Suatu altar disebut altar permanen kalau dibangun melekat pada lantai sehingga tidak dapat dipindahkan; altar disebut altar geser kalau dapat dipindah-pindahkan.
- Seturut tradisi Gereja, dan sesuai pula dengan makna simbolis altar, daun meja untuk altar permanen harus terbuat dari batu, bahkan dari batu alam. Tetapi Konferensi Uskup dapat menetapkan bahwa boleh juga digunakan bahan lain, asal sungguh bermutu, kuat, dan indah. Sedangkan penyangga atau kaki altar dapat dibuat dari bahan apapun, asal kuat dan bermutu.
Altar geser dapat dibuat dari bahan apapun asal, menurut pandangan masyarakat setempat, bermutu, kuat, dan selaras untuk digunakan dalam liturgi.
Kembali ke dalam persoalan awal, perlu dicatat bahwa Gereja adalah tempat kudus. Dari kata Ibrani 'Qadosh', artinya dikhususkan, bukan hal yang generik disama-ratakan dengan tempat lain pada umumnya. Panti Imam adalah area utama di mana dilangsungkan tindak liturgis dan di mana ditempatkan ketiga perabot utama: sedelia (kursi pemimpin), mimbar dan meja altar. Panti Imam dirancang tidak untuk pentas atau pertunjukan drama), Panti Imam juga disebut sanctuarium, yang artinya kudus.
Ketika mengunjungi tempat kudus, sudah selayaknya berpakaian dengan pantas dan sopan, terlebih apabila memasuki Panti Imam.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa cara berpakaian yang sopan merupakan bagian dari kebajikan kemurnian, demikian:
KGK 2521 Kemurnian menuntut sikap yang sopan/ bersahaja. Ini adalah bagian hakiki dari pengekangan diri. Sikap yang sopan/ bersahaja memelihara hal-hal pribadi manusia. Ia menolak membuka apa yang harus disembunyikan. Ia diarahkan kepada kemurnian yang perasaan halusnya ia nyatakan. Ia mengatur pandangan dan gerakan sesuai dengan martabat manusia dan hubungan di antara mereka.
KGK 2522 Sikap sopan/ bersahaja melindungi rahasia pribadi dan cinta kasihnya. Ia mengundang untuk bersabar dan mengekang diri dalam hubungan cinta kasih; ia menuntut, bahwa prasyarat-prasyarat untuk ikatan definitif dan penyerahan timbal balik dari suami dan isteri dipenuhi. Dalam sikap sopan itu termasuk pula kerendahan hati. Ia mempengaruhi pemilihan busana. Di mana ia mengira bahwa ada bahaya sikap ingin tahu yang tidak sehat, di sana ia berdiam diri dan bersikap hati-hati. Ia menjaga keintiman orang lain.
KGK 2523 Ada sifat sopan/ bersahaja dalam perasaan dan terhadap badan. Sifat ini menentang, misalnya terhadap penyalahgunaan tubuh manusia yang �voyeuristik� dalam iklan tertentu atau terhadap tuntutan media-media tertentu, sehingga berlangkah terlampau jauh dalam membuka bagian-bagian yang sangat intim. Sikap sopan menggerakkan satu tata hidup, yang berlawanan dengan paksaan mode dan desakan dari ideologi yang berlaku.
KGK 2524 Bentuk ungkapan sikap sopan ini berbeda dari kultur ke kultur. Tetapi di mana-mana terkandung gagasan mengenai martabat rohani yang khas untuk manusia. Ia tumbuh melalui tumbuhnya kesadaran pribadi. Mendidik anak-anak dan kaum remaja dalam sikap sopan/ bersahaja ini berarti membangkitkan hormat terhadap pribadi manusia.
KGK 2533 Kemurnian hati menuntut sikap yang sopan/ bersahaja, yang terdiri dari kesabaran, kerendahan hati, dan perasaan halus. Sikap yang sopan/ bersahaja melindungi keintiman seseorang.
Patut disesalkan diadakannya drama di area panti imam. Altar merupakan tempat yang sentral dalam bangunan Gereja dan pada panti imam. Sudah sejak Gereja Perdana, altar memiliki tempat dan martabat yang sentral dalam Perayaan Ekaristi. Santo Paulus menyebutnya sebagai "meja Tuhan" (1Kor 10:21). Norma liturgi mengatur tata gerak para petugas liturgi kalau di panti imam ada tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, maka imam, diakon dan pelayan-pelayan lain selalu berlutut pada saat mereka tiba di depan altar dan pada saat akan meninggalkan panti imam. Tetapi, dalam Misa sendiri mereka tidak perlu berlutut" (PUMR 274).
Pelanggaran berat meliputi berbagai tindakan atau hal yang membahayakan sahnya serta keluhuran Ekaristi Mahakudus, meski untuk menilainya harus juga digunakan ajaran umum Gereja dan norma-norma yang telah ditetapkan. Instruksi Redemptionis Sacramentum No. 173 mencatat dan mendaftar macam-macam hal yang dipandang sebagai pelanggaran berat, yakni tindakan yang bertentangan dengan apa yang diuraikan dalam Instruksi tersebut pada nomor 48-52, 76-77, 91-92, 94, 96, 101-102, 104, 106, 109, 111, 115, 117, 126, 131-133, 138, 153 dan 168. Penyelewengan-penyelewengan lain: Berbagai perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan peraturan-peraturan lain, yang dibahas di lain tempat dalam Instruksi Redemptionis Sacramentum atau dalam norma-norma yang tercantum dalam hukum (RS 174). Setiap orang harus menjamin bahwa Sakramen Mahakudus harus terlindung dari segala pencemaran dan dari setiap nista (RS 183). Setiap orang beriman Katolik berhak untuk melaporkan tentang pelanggaran di bidang liturgi kepada uskup diosesan atau ordinaris. Namun, semua itu harus dibuat dengan kebenaran dan dalam semangat cinta kasih (RS 184). Gereja memberikan aturan-aturan, bukan untuk membatasi atau membelenggu, melainkan untuk menjaga supaya iman yang diwariskan itu tetap terjaga. jika demikian, siapa yang kemudian akan kita ikuti: Gereja atau keinginanku/komunitas untuk melakukan ini dan itu? Hendaklah kita sekalian juga tidak jatuh dalam dosa kelalaian dengan tidak mewartakan apa yang baik dan benar ini.
Sumber:
http://santoantonius.blogspot.com/2015/05/etika-dalam-merayakan-ekaristi.html
Etika dalam Merayakan Ekaristi
JMG
0
Comments
Post a Comment