Misa Tridentin merupakan salah satu bentuk Misa Ritus Romawi yang mengacu pada Missale Romanum yang diterbitkan Paus Yohanes XXIII pada 1962. Di Indonesia, Misa ini masih dipraktikkan.
Mereka yang menghayati tata liturgi yang tidak biasa (for�ma extraordinaria) ini tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang tersebar. Dari pengamatan HIDUP, setidaknya praktik Misa ini berlangsung di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Bahkan, tidak hanya Misa Tridentin tetapi juga pemberkatan perkawinan, pemberkatan ibu-ibu hamil, dan pemberkatan rumah. Keberadaan komunitas ini dan informasi tentang Misa Tridentin juga dapat ditemukan di akun facebook �Kami Cinta Ritus Tridentin�, situs �www.misa1962.org�, dan blog "http://tradisikatolik.blogspot.com�.
Sutradara dan aktor kondang Mel Gibson, kabarnya secara rutin juga merayakan Misa Tridentin di gereja tradisional dekat rumahnya di Malibu, California. Tetapi, ia mengikuti ajaran komunitas Society of Pius X (SSPX), pengikut Marcel Lefebvre, uskup agung yang diekskomunikasi Gereja Katolik pada 1998. Tetapi, pada 2008, Paus Benediktus XVI telah mencabut ekskomunikasi tersebut.
Misa Tridentin sebenarnya adalah bentuk liturgi Misa yang digunakan oleh Gereja di seluruh dunia sejak 1570. Liturgi Misa Tridentin yang sekarang digunakan adalah Missale Romanum yang diterbitkan Paus Yohanes XXIII. Misa Tridentin dirayakan dengan menggunakan bahasa Latin. Sedangkan liturgi Misa yang umum dipakai sekarang mengacu pada Missale Romanum Paulus VI yang diterbitkan setelah Konsili Vatikan II (1962-1965). Liturgi Misa Paulus VI ini disebut bentuk liturgi biasa (forma ordinaria), dengan menggunakan berbagai bahasa sesuai kebutuhan umat setempat.
Trend di Indonesia
Di Indonesia sudah terbentuk beberapa komunitas pencinta Misa Tridentin. Misalnya, Kelompok Studi Liturgi Santo Petrus di Jakarta. Andre Prasetya dipilih sebagai koordinator kelompok ini. Pada 2009 Andre mengenal Misa Tridentin tatkala diajak adiknya untuk mengikuti Misa Tridentin yang diorganisasi oleh Thomas Rudy Haryanto. Andre mengatakan, jumlah umat yang hadir sangat tergantung pada tempat di mana Misa diselenggarakan. Misalnya, di Kembang Wangi, biasanya dihadiri 10-20 orang; ketika diselenggarakan di Inti College, jumlah umat sekitar 15-40 orang. Jumlah umat yang hadir bisa mencapai 5.000 orang, ketika Misa diadakan di gereja.
Dalam Misa biasa, Doa Syukur Agung dibacakan secara lantang oleh imam. Sedangkan dalam Misa Tridentin, imam membacakannya secara �bisik-bisik�. Selain itu, bacaan epistola hanya ada satu, sedangkan bacaan Injil ada dua. Injil kedua dibacakan di akhir Misa dan selalu diambil dari Injil Yohanes 1.
Aktivis Misa Tridentin dari Kelompok Studi Liturgi Santo Petrus, Thomas Rudy Haryanto, mengenal Misa Tridentin melalui buku maupun internet. Ia menemukan, ternyata ada bentuk liturgi lain yang tidak biasa yang digunakan sebelum Konsili Vatikan II, yaitu Tridentin. Kemudian, pada 2007 muncul peraturan yang menyatakan dapat menggunakan bentuk liturgi yang tidak biasa tersebut. Selanjutnya, ia minta seorang imam untuk mempersembahkan Misa Tridentin. Misa perdana dirayakan di rumahnya pada 2008, atas izin pastor Kepala Paroki St Thomas Rasul, Bojong Indah, Jakarta Barat. Dan, Misa Tridentin ini berlanjut di rumah orangtuanya di Puri Kembangan, Jakarta Barat.
Rudy berpendapat, ada perbedaan aspek teologis antara Misa biasa dan Misa Tridentin. Misa biasa menekankan pada aspek kebersamaan, sedangkan Misa Tridentin menekankan pada aspek kurban. Misa Tridentin banyak membuat tanda salib, karena yang ingin ditonjolkan adalah kurban Kristus yang disalib. Ada sekitar 20 kali membuat tanda salib selama Misa. Selain itu, ada �acara� penciuman altar yang dilakukan sekitar 10 kali. Peran imam sangat mencolok dalam Misa ini, karena ingin menonjolkan imam sebagai yang serupa dengan Kristus sendiri (in persona Christi). Hal ini berarti menekankan ajaran mengenai pentingnya Imamat Jabatan, dan perbedaannya dengan Imamat Umum kaum beriman. Lebih lanjut Rudy menjelaskan, Imamat Jabatan ditonjolkan agar kurban salib dapat terlaksana, yakni tanpa imam, tidak ada Misa.
Sementara di Surabaya, ada Kelompok Studi dan Koor Gregorian Schola Cantorum Surabaiensis (SCS) yang telah diberkati oleh Uskup Surabaya, Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, pada Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus, 30 Mei 2008. Anggota SCS berasal dari berbagai paroki di Surabaya, antara lain Paroki Katedral Surabaya, St Yusup Karang Pilang, dan Salib Suci Sidoarjo. Umur anggotanya pun bervariasi, berkisar antara 18 sampai 66 tahun. Kelompok ini berkumpul seminggu sekali untuk belajar bersama tentang tradisi musik Gregorian dan liturgi Gereja. Di samping itu, atas prakarsa Romo Eko Budi Susilo Pr, SCS juga mendaraskan Ibadat Penutup (Completorium) di Katedral setiap hari Minggu pukul 21.00-21.30.
Peminat liturgi dan tradisi Katolik asal Surabaya, Albert Wibisono mengatakan, baik Misa dengan tata cara biasa maupun yang tidak biasa, baik dan sah menurut Takhta Suci. Namun, yang hendaknya diperhatikan adalah peningkatan kualitas dan keterampilan imam, pelayan katekese umat, dan syarat untuk bisa merayakan Ekaristi.
Albert menambahkan, partisipasi aktif yang diamanatkan dalam Konsili Vatikan II tidaklah berarti bahwa umat harus ikut serta mengucapkan semua doa dan/atau menyanyikan semua lagu dalam Misa. Ada doa-doa yang diucapkan hanya oleh imam, dan ada aklamasi-aklamasi yang merupakan bagian umat, misalnya aklamasi �Amin�. Ada saatnya lektor membaca Sabda Tuhan dan umat mendengarkan (bukan ikut membaca teks). Hal nyanyian, ada bagian-bagian yang dinyanyikan koor dan ada pula bagian yang dinyanyikan umat. Sikap diam dan khusyuk mendengarkan serta menghayati doa, bacaan Kitab Suci serta nyanyian yang dibawakan koor pun merupakan bentuk partisipasi aktif dalam Misa. Mendengarkan mungkin menjadi bentuk partisipasi aktif yang tersulit. Akhirnya, partisipasi batiniah lebih penting daripada partisipasi lahiriah.
Tanggapan hirarki
Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia (Komlit KWI), Pastor Bosco da Cunha OCarm, mengatakan, Paus Benediktus XVI telah menerbitkan Surat Apostolik Summorum Pontificum, melanjutkan apa yang sudah direstui oleh para paus pendahulunya. Pada 1991 Paus Yohanes Paulus II membentuk Komisi Kepausan Ecclesia Dei, sebuah komisi khusus untuk mengurusi dan menangani realisasi Misa Tridentin. Segala hal atau persoalan yang terkait dengan pelaksanaan Misa Tridentin dari seluruh Gereja universal ditampung dan diolah dalam komisi ini.
Menurut Romo Bosco, Sri Paus melihat, masih ada kelompok-kelompok yang ingin bernostalgia dan merasa cocok hatinya dengan gaya liturgi lama (lagu-lagu Latin, penggunaan bahasa Latin, perayaan dengan imam yang terkesan sangat sakral). Mereka juga harus tetap dihormati dan dilayani.
Komlit KWI, demikian Romo Bosco, tidak mengurusi persoalan-persoalan tentang tridentin. Persoalan tersebut langsung diserahkan pada kewenangan para uskup diosesan di keuskupan masing-masing. Dalam Surat Apostolik juga tidak dijelaskan bahwa KWI harus mendukung. Namun, ada poin yang mengatakan bahwa uskup hendaknya memberikan pelayanan. �Seorang uskup yang ingin memenuhi permintaan dari umat, tetapi karena berbagai alasan tidak dapat memenuhinya, dapat langsung melaporkan kepada Komisi Ecclesia Dei di Roma yang akan memberikan bimbingan dan pemberitahuan lebih lanjut,� jelasnya.
Sedangkan pakar sejarah Gereja dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Prof Dr A. Eddy Kristiyanto OFM mengatakan bahwa tujuan Misa Tridentin adalah ingin mengakomodasi kelompok Santo Pius X yang dulu memisahkan diri atau dipisahkan dari Gereja Katolik Roma, karena Uskup Agung Marcel Lefebvre tidak mau menandatangani Konsili Vatikan II. Maka, Paus Benediktus XVI berusaha merangkul kembali. �Sri Paus ini sangat cerdas, mengarah ke suci, tapi juga sangat konservatif,� kata imam Fransiskan ini. Dalam motu proprio, yakni inisiatif pribadi Bendiktus XVI, dijelaskan bahwa Misa Tridentin tidak dianjurkan, tetapi apabila ada yang berkeinginan menyelenggarakan, kebijakannya diserahkan masing-masing keuskupan. Problem yang muncul, demikian Romo Eddy, adalah umat tidak menguasai bahasa Latin. Tetapi, jika ada orang yang merasa lebih tenang dengan misa ini, haruslah dilayani hanya sesekali saja. Jadi, kendalanya bukan pada perayaannya, melainkan pada bahasanya.
Di tempat terpisah, seorang imam di Malang mengatakan, Misa Tridentin itu mengacaukan liturgi. Maksudnya, umat sudah terbiasa dengan pembaruan liturgi Konsili Vatikan II, dengan segala pengetahuan liturgi yang begitu luas, tetapi justru diajak kembali ke belakang lagi. Seolah-olah Gereja mengalami kemunduran dan kembali ke zaman pra Konsili Vatikan II.
Sumber :
http://www.hidupkatolik.com/2011/11/24/fenomena-misa-tridentin
Post a Comment