Latest News

Tuesday, June 28, 2011

Nyanyian Pembuka, Nyanyian Yang Menyatukan

Dalam Perjanjian Lama ada tradisi yang menetapkan suku Lewi sebagai petugas di rumah TUHAN (Bait suci). Kedudukan ini menyebabkan orang-orang Lewi mengatur pembagian tugas, supaya ibadat dapat berjalan lancar dan menyentuh. Salah satu kelompok yang terlibat dalam ibadat itu adalah kelompok musik/nyanyian (I Tawarikh 6:31- 32; I Tawarikh 23: 5; 25: 1- 8). Agaknya kelompok nyanyian ini bukan kelompok ala kadarnya, tetapi kelompok yang memang amat serius dalam menjalankan tugasnya (I Tawarikh 25: 7).

Puji-pujian yang disampaikan oleh kelompok nyanyian ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ibadat. Bahkan mereka menempati kedudukan khusus dalam ibadat [I Tawarikh 6: 31; II Tawarikh 5: 11- 13]. Sekalipun tidak secara eksplisit menyebut nyanyian, tetapi tersirat pemahaman bahwa puji-pujian dalam ibadat harus dipersiapkan dengan baik, bukan hanya masalah teknik vokal maupun penampilan, tetapi juga suasana hati para pemujinya. Sehingga puji-pujian yang disampaikan itu benar-benar adalah ekspresi iman, bukan sekedar keindahan suara (Amos 5: 23).

Fungsi Nyanyian di dalam Ibadat
Jelaslah bahwa sejak zaman dahulu musik/nyanyian memainkan peranan yang amat penting bagi pembangunan iman jemaat. Musik dalam ibadat dikelola secara serius [lihat di kitab I dan II Tawarikh]. Musik dipandang amat penting, karena:
1. Musik menjadi salah satu mata rantai liturgi. Artinya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan rangkaian ibadat.
2. Memberi bobot/mempertajam pengungkapan makna iman dan perasaan yang tak cukup bila hanya diungkapkan dengan kata-kata. Sehingga kegiatan ibadat tidak terbatas pada ruang akal-perasaan semata, tetapi memasuki kedalaman spiritual.
3. Dalam penghayatan tertentu nyanyian dapat memancarkan daya kuasa yang dapat menyegarkan, memperbaharui dan bahkan mengubah sikap hidup seseorang (I Samuel 16: 16, 23)
4. Memberi kesempurnaan penghayatan ibadat melalui keutuhan, kekhidmatan dan kesucian ibadat. Nyanyian-nyanyian bisa membantu tersentuhnya batin jemaat.

Dengan demikian nyanyian dalam ibadat menyatu bukan hanya dengan bagian-bagian lain liturgi, melainkan juga dengan hati / batin jemaat yang beribadat. Dalam ibadat tidak ada pihak yang menjadi penonton, dan lainnya sebagai tontonan. Sebab pada hakekatnya musik dalam ibadat berfungsi melayani! Pengiring musik dan warga jemaat lainnya sama-sama tunduk dan bersimpuh di depan Tuhan. Kesatuan hati antara pengiring musik dan warga jemaat lainnya amat penting. Pengiring musik / pemandu pujian (koor) bukan tontonan dan warga jemaat bukan penonton! Suasana ibadat bisa rusak kalau pengiring / koor memerankan diri sebagai �artis pertunjukkan� yang merasa akan ditonton oleh orang lain, sehingga menonjolkan kemerduan suaranya atau ketrampilan bermain musiknya semata.

Oleh karena itu musik/nyanyian tidak hanya berurusan dengan penguasaan teknik alat musik/ vokal dan penampilan, tetapi juga berurusan dengan soal integritas moral, kebersihan hati pelaku (Amos 5: 23). Warga jemaat datang ke Perayaan Ekaristi bukan untuk menyaksikan pertunjukkan nyanyian, tetapi ingin memenuhi undangan Tuhan untuk datang ke perjamuan-Nya. Dalam Sacrosanctom Concilium (SC) art. 112 dikatakan: �Musik Liturgi semakin suci, bila semakin erat berhubungan dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak.�

Musik / nyanyian liturgi juga mengabdi pada partisipasi umat dalam ibadat, seperti yang diuraikan dalam SC art. 114: �Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. Para uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara liturgi yang dinyanyikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka.�

Nyanyian Pembuka memiliki beberapa fungsi: (PUMR no. 47-48).
1. mengiringi perarakan para petugas liturgi (imam dan para pelayan lain) memasuki ruang ibadat; maka nyanyian pembuka harus dilagukan selama perarakan berlangsung;
2. membina persekutuan umat; maka seluruh jemaat harus berpartisipasi dalam nyanyian pembuka: bernyanyi dengan segenap hati, dengan suara lantang; oleh karena itu baik dipilih nyanyian yang mampu mempersatukan umat.
3. mengantar umat memasuki misteri yang dirayakan; maka tema nyanyian pembuka harus cocok dengan Perayaan Ekaristi hari yang bersangkutan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menunjang terciptanya persekutuan jemaat, a.l.:
1. tata gerak: selama melagukan nyanyian pembuka kita semua berdiri tegap, tidak loyo, tidak ada yang duduk; kesamaan sikap ini menunjukkan kekompakan, persekutuan. �Sikap tubuh yang seragam menandakan kesatuan seluruh jemaat yang berhimpun untuk merayakan Liturgi kudus. Sebab sikap tubuh yang sama mencerminkan dan membangun sikap batin yang sama pula.�
2. terlibat: seluruh umat melagukan nyanyian pembuka, entah silih berganti dengan koor, entah bersama-sama dengan para anggota koor;
3. berbagi buku: kalau teman di sebelah kita tidak membawa buku, kita ajak ia menyanyi dengan buku kita; dengan menawarkan buku untuk dipakai bersama, kita membangun persekutuan;
4. latihan: kalau nyanyian pembuka belum dikuasai umat, dirigen harus melatihnya beberapa menit sebelum Perayaan Ekaristi.

Marilah kita kita siapkan diri kita untuk mengikuti Misa Kudus dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ungkapan syukur. Kita satukan diri kita bersama jemaat lainnya untuk menyanyikan pujian dengan hati yang dilandasi oleh iman dan kasih. Semoga Tuhan memberkati kita semua.

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St. Herkulanus

Sunday, June 19, 2011

Berlutut, sikap hormat dan mengakui kelemahan di hadapan Allah

Saat kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, biasanya kita berlutut sejenak. Mengapa?

Kita berlutut pada saat akan duduk dan beberapa kali berlutut selama Misa Kudus. Untuk memahami hal ini, sesungguhnya kita harus menghayati dulu Siapa yang hadir di hadapan kita dalam Misa Kudus. Jika kita mengimani bahwa Tuhan Yesus Kristus sungguh-sungguh hadir di dalam Ekaristi itu dan di dalam diri imam-Nya yang memimpin Misa Kudus, maka kita akan dengan lapang hati berlutut, dan sungguh tidak ada halangan bagi kita untuk berlutut. Sebab Alkitab mengatakan, �dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi� (Flp 2:10).

Kebiasaan berlutut berasal dari Eropa pada abad pertengahan. Pada waktu itu ada suatu kebiasaan di Eropa untuk menekukkan satu lutut (genuflect) di hadapan seorang raja atau seseorang yang berkedudukan tinggi. Berlutut bisa menandakan bahwa kita �kalah� dan kita �pasrah�. Dalam tradisi Katolik, berlutut menjadi tanda kepasrahan dan pengakuan atas kelemahan kita dihadapan Allah. Di dalam gedung gereja, berlutut juga menjadi ungkapan rasa hormat kita akan adanya Altar dan tabernakel di hadapan kita. Altar menjadi tempat dimana Yesus Kristus hadir secara riil dalam Ekaristi, dan tabernakel menjadi tempat Sakramen Mahakudus yang merupakan Tubuh Kristus sendiri.

Kapan saja kita �berlutut�?
Ada beberapa kali kita berlutut di dalam gereja atau selama Misa Kudus. Pertama kali kita berlutut ketika kita masuk ke gedung gereja, setelah membuat tanda salib dengan air suci, sebelum duduk, kita berlutut sejenak dengan menekuk satu lutut (�kaki kanan menyentuh lantai�) dan membuat tanda salib. Sikap ini merupakan ungkapan rasa hormat kepada Altar dan tabernakel yang merupakan tempat kudus yang ada di hadapan kita. Sikap hormat yang sama ini juga dilaksanakan oleh para petugas liturgi (prodiakon, lektor dan misdinar) ketika hendak naik ke panti imam atau setelah melaksanakan tugas di panti imam. Bagi para petugas liturgi, �berlutut� dapat diganti dengan �menundukkan kepala� pada saat dalam perarakan, atau ketika sedang membawa salib, lilin, dupa atau Kitab Suci. Menurut PUMR 275a, �menundukkan kepala� dilakukan juga ketika mengucapkari nama Tritunggal Mahakudus, nama Yesus, nama Santa Perawan Maria, dan nama para orang kudus yang diperingati dalam Misa yang bersangkutan.

Kita juga berlutut pada saat �Doa Syukur Agung�, pada saat persiapan Komuni:�inilah Anak Domba Allah �.�, dan pada saat doa pribadi sesudah komuni. PUMR 43 mengatakan : �Umat berlutut pada saat konsekrasi, kecuali kalau ada masalah kesehatan atau tempat ibadat tidak mengijinkan, entah karena banyaknya umat yang hadir, entah karena sebab-sebab lain. Mereka yang tidak berlutut pada saat konsekrasi hendaknya membungkuk khidmat pada saat imam berlutut sesudah konsekrasi�.

Berlutut bisa juga menandakan sikap pasrah dan mengakui kelemahan kita di hadapan Allah. Sikap tubuh dengan berlutut ini menunjukkan semangat kerendahan diri yang menguasai hati dan jiwa kita. Di hadapan Allah, Sang Sumber Hidup, kita ini tidak ada apa-apanya. Saat itu pula, dengan sikap tubuh itu, kita mengungkapkan isi batin kita dan menyembah Allah. Kita juga ingin menyelaraskan diri dengan Kristus, Putra-Nya. Berlutut semacam ini juga mengungkapkan keyakinan kita bahwa Allah yang telah memulai itu akan juga menggenapi semua karyaNya di dalam diri kita. Kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan.

Mari kita mengikuti Misa dengan penuh hormat dan dengan hati yang dipenuhi oleh ucapan syukur, karena Yesus mengundang kita untuk datang ke perjamuanNya: �Berbahagialah kita yang diundang ke-perjamuanNya!�

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Prodiakon Paroki St.Herkulanus, Depok.

Wednesday, June 15, 2011

Makna Tanda Salib dengan Air Suci

Oleh : Ign. Djoko Irianto
Seorang teman bertanya, apa makna membuat tanda salib dengan air suci ketika masuk gereja?

Seturut tradisi Gereja Katolik, kita menempatkan bejana-bejana air suci dekat pintu masuk gereja. Penempatan dan penggunaan air suci sesungguhnya berhubungan dengan praktek pentahiran (pembersihan diri) bangsa Yahudi dalam Perjanjian Lama. Kitab Imamat menjelaskan berbagai macam ritual pentahiran mempergunakan air untuk menghapus �kenajisan� tertentu, misalnya akibat menyentuh jenazah, haid, melahirkan atau terjangkit kusta (bdk. Imamat 12-15). Dalam tradisi bangsa Yahudi, orang juga membersihkan diri dengan air sebelum memasuki pelataran Bait Allah, memanjatkan doa dan mempersembahkan kurban, juga sebelum makan. Karena alasan inilah, dalam Balai Imam (area sebelum bangungan Bait Allah) ditempatkan bejana perunggu yang sangat besar berisi air. Di sini para imam membersihkan tangan serta kaki mereka sebelum mempersembahkan kurban di altar di dekatnya. Imam menyucikan diri sebelum memasuki Bait Allah, dan dari sana juga diambil air untuk keperluan pentahiran lainnya seperti ditetapkan dalam ritual-ritual bangsa Yahudi.

Kita membuat tanda salib dengan air suci ketika memasuki gereja karena tiga alasan, yaitu : sebagai tanda sesal atas dosa, sebagai perlindungan dari yang jahat dan sebagai tanda peringatan akan pembaptisan kita.

Pertama, air suci sebagai tanda sesal atas dosa. Sesal atas dosa digambarkan dengan membersihkan diri dengan air seperti dinyatakan dalam Mazmur 51: �Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Bersihkanlah aku dari pada dosaku dengan hisop, maka aku menjadi tahir, basuhlah aku, maka aku menjadi lebih putih dari salju!� (3-4, 9). (Hisop adalah tumbuh-tumbuhan yang kecil, yang batang dan daunnya dipergunakan untuk memercikkan barang cair). Ingat juga bagaimana St. Yohanes Pembaptis memanggil semua orang untuk bertobat dengan menggunakan ritual membersihkan diri dengan air sebagai tanda sesal atas dosa dan penyucian diri.

Tindakan-tindakan ini dimasukkan dalam Misa kita. Dalam Ritus Tobat, salah satu cara menyatakan tobat adalah Asperges, yang terdiri dari Ritus Berkat dan Memerciki dengan Air Suci. Sementara imam berjalan melewati umat sambil memerciki mereka dengan air suci, umat biasanya memadahkan Asperges Me (= Percikilah Aku), yang disusun berdasarkan Mazmur 51. Bersama - sama, setiap jemaat menyatakan sesal dan tobat atas dosa.

Kedua, air suci melindungi kita dari yang jahat. Dalam doa pemberkatan air dalam ibadat, kita berdoa: �Tuhan, Allah yang Mahakuasa, pencipta segala yang hidup, baik tubuh maupun jiwa, kami mohon sudilah memberkati air ini, yang kami gunakan dalam iman untuk mengampuni dosa-dosa kami dan melindungi kami dari segala kelemahan dan kuasa jahat. Tuhan, karena belas kasihan-Mu berilah kami air hidup, yang senantiasa memancar sebagai mata air keselamatan; bebaskan kami, jiwa dan raga, dari segala mara bahaya, dan ijinkan kami menghadap hadirat-Mu dengan hati yang murni.�

Yang ketiga, air suci mengingatkan kita akan pembaptisan kita. Karena seruan kepada Tritunggal Mahakudus dan penuangan air suci, kita dibebaskan dari dosa asal dan dari segala dosa, dicurahi rahmat pengudusan, dipersatukan dalam Gereja, dan diberi gelar putera-puteri Allah. Dengan membuat Tanda Salib dengan air suci, kita disadarkan bahwa kita dipanggil untuk memperbaharui janji-janji baptis kita, yakni menolak setan, menolak segala karya-karyanya, serta mengaku syahadat iman kita. Sekali lagi, kita menyesali dosa - dosa kita, agar kita dapat memanjatkan doa-doa kita dan beribadat kepada Tuhan dengan hati murni dan penuh sesal. Seperti air dan darah yang mengalir dari Hati Yesus yang Mahakudus sementara Ia tergantung di atas kayu salib - yang melambangkan Sakramen Baptis dan Sakramen Ekaristi Kudus yang sungguh luar biasa. Tindakan mengambil air suci dan membuat Tanda Salib sebelum memasuki gereja mengingatkan kita akan Sakramen Baptis kita dan menyiapkan diri kita untuk menyambut Ekaristi Kudus.

Sumber : http://www.indocell.net/yesaya/id501.htm

Tags