Iman adalah penerang dalam hidup, apalagi di tengah kegelapan yang menerpa duni akibat dari kesempitan diri dan dorongan cinta serta kepentingan diri makin menguat. Memang sejak dari Deus Caritas Est, sudah diperlihatkan betapa Gereja cemas akan perkembangan dunia. Ada disorientasi dalam dunia kehidupan: bukan kebenararan yang dicari, namun lebih pada kepentingan sempit dan sesaat yang berangkat dari tendensi egoisme dan sikap narsistik.
Maka lewat tiga ensiklik tentang kasih, harapan, dan iman, ini Gereja mengajak semua yang berkehendak baik untuk menata lagi hidup dan memperbarui dunia kehidupan ini. Bukan sekadar beragama dengan tekanan pada norma dan ritualnya, namun bagaimana membangun hidup secara seimbang dan integral, sehingga iman juga mewujud dalam tindakan kasih kepada sesame, sebagai tanda harapan akan keselamatan yang sudah terwujud dan dinanti kepenuhannya kelak.
Iman bukanlah suatu ilusi, bayangan, dan percakapan kosong tak berarti. Perjalanan sejarah, sejak Abraham hingga sekarang, menunjukkan fakta bahwa iman adalah suatu dorongan kekuatan hidup yang mampu menggerakkan orang, pula mengubah dunia. Iman adalah terang yang menghalau kegelapan dan dian yang menemani langkah perjalanan umat manusia. Tentu disini peristiwa Yesus adalah penentu dan kriteria dasar.
Lewat pengakuan iman akan Dia, dan kesediaan untuk ikut serta bersamaNya, umat beriman memberikan diri dalam kebersamaan, sehingga tidak lagi memperjuangkan kepentingan diri, dan bersama terlibat membangun dunia yang ditandai dengan kebenaran, keadilan dan kedamaian. Memberikan diri kepada Allah dalam iman berarti pula, dengan demikian, menjalin kebersamaan dengan sesame membangun dunia, sebagai perwujudan iman akan Dia.
Maka, sesuai dengan salah satu kunci dari pemikiran Benediktus XVI, tendensi relativisme dicoba dilawan. Iman membawa pada suatu pilihan jelas dan tegas. Iman adalah penerang langkah dan kristeria dasar hidup, karenanya tidak bisa ada sikp merelatifkan nilai, mengkompromikan kebenaran, dan memudarkan prinsip hidup. Mengikut tapak jalan Tuhan Yesus, iman mendorong pada suatu pilihan, dan pilihan tersebut bisa berarti jaln salib. Namun, pilihan iman tersebut akan membawa kepada keselamatan. Tanpa keberanian dan kesediaan memanggul salib, iman akan pudar dan menguap.
Memang ditengarai bahwa iman disingkirkan, karena antara lain orang takut menjadi picik dan fanatik. Namun, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa iman sejati bukanlah pemicu kekerasan. Kalau itu terjadi, lebih karena iman dilepaskan dari akal budi. Pemisahan iman dengan akan budi adalah skandal besar kehidupan, demikian oleh Paus melalui ensikliknya Fides et Ratio. Paus Benediktus XVI pun berulangkali menekankan keterkaitan erat antara iman dan akal budi. Tanpa itu, orang bisa terjebak dalam kepercayaan subjektif dan pemutlakan keyakinan personal.
Langkah iman akan mendorong orang untuk terus mencari kebenaran , menggalinya dengan keterbukaan dan rendah hati, dalam sikap dialog tanpa henti. Para pencari kebenaran adalah orang-orang yang rendah hati, dengan kesediaan diri untuk terus menerus mendengarkan dan memberikan diri dibentuk serta dididik oleh Tuhan. Orang beriman, dengan demikian, adalah para pencinta kebenaran, penggali pemahaman iman tanpa henti, bukan kaum fanati buta. Maka, diperlukan kesediaan untuk terus menerus mau belajar mendengarkan dan menggali, dalam suatu perziarahan iman dalam hidup yang tak pernah mengenal kata akhir, selain didalam kesatuan utuh denganNya. Kebenaran iman itu tidaklah bertentangan dengan akal budi, dan karenanya membawa masuk ke dalam perjumpaan dengan realitas kehidupan, tempat dimana rahmat berkerja.
Renungan oleh RP T. Krispuwarna Cahyadi SJ.
إرسال تعليق