P. Cornel Fallo, SVD
STP Dian Mandala Gunungsitoli, Keuskupan Sibolga
Lima pilar pelayanan Gereja merupakan fondasi kokoh yang menyingkapkan tugas dan tanggungjawab serta eksistensi pelayanan Gereja di dunia (Bdk. GS art 1, 43). Gereja sebagai umat Allah berkat sakramen pembaptisan menyadari diri memiliki tanggungjawab menunaikan tugas dan panggilan dalam lima pilar pelayanan Gereja di dunia (Bdk. LG art 31). Sebab, lima pilar pelayanan Gereja tersebut merupakan implementasi dari Tri tugas Yesus Kristus sendiri.[1] Lima pilar pelayanan Gerejani yang dimaksudkan ialah Kerygma, Diakonia, Koinonia, Leitourgia dan Martyria (Bdk. LG art. 25-27). Kelima pilar pelayanan Gereja ini akan dibahas dalam uraian berikut ini.
1. Kerygma (Pewartaan)
�Kerygma� berasal dari bahasa Yunani yang berarti karya pewartaan Kabar Gembira. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ditemukan dua kata kerja Yunani yang berhubungan dengan kerygma atau pewartaan ini yakni �kerussein� (Ibr 5:12) dan �didaskein� (Ibr 6:1). Dalam perspektif biblis ini �kerussein� berarti mewartakan secara meriah dan resmi Kabar Gembira tentang kedatangan Kerajaan Allah yang dilakukan oleh para Rasul serta kesaksian mereka tentang ajaran dan karya Yesus Kristus. Kata kerja �kerussein� menunjuk pada aktivitas pewartaan yang ditujukan kepada orang yang belum mengenal atau belum percaya kepada Yesus Kristus. Sedangkan kata kerja �didaskein� berarti mengajar atau memberikan pelajaran kepada orang yang telah beriman dalam rangka memperkembangkan dan memekarkan iman yang sudah mulai tumbuh.
Dengan demikian �didaskein� merupakan aktivitas pewartaan yang bersifat lanjutan dan diberikan kepada orang yang telah mengenal dan percaya kepada Yesus Kristus, agar iman umat semakin berkembang ke arah kedewasaan.[2] Dan memang sesungguhnya arti asli dari kata kerygma adalah bahwa karya pewartaan itu berkaitan erat dengan mulut atau kata dalam menyampaikan Sabda Tuhan kepada telinga atau pendengaran yang menggerakkan hati manusia untuk berbuat ke arah pertobatan. Melalui tindakan itu kita diingatkan oleh pengajaran Santo Paulus bahwa iman itu tumbuh lewat pendengaran. Keselamatan itu diperoleh berkat iman kepada Yesus Kristus (bdk. 1 Tim 2:4).
Dalam hubungan dengan proses penelitian ini maka pemahaman didaskein-lah yang paling tepat untuk ditindaklanjuti. Landasan kokoh tentang tindakan pewartaan ini adalah Tuhan Yesus sendiri. Metodologi yang digunakan Yesus dalam melaksanakan tugas pewartaan tersebut adalah dengan membangun jejaring dan kepercayaan. Untuk itu, Yesus memanggil para Rasul dengan melibatkan mereka dalam melaksanakan tugas pewartaan. Demikian juga umat beriman Kristiani di mana semua diberi kepercayaan, dipanggil dan diutus Tuhan Yesus untuk mengambil bagian dalam tugas pewartaan Kabar Gembira (bdk. LG art 35). Tuhan Yesus mengutus kita semua dengan bersabda: �Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu� (Mat 28: 19-20).
Penekanan utama dalam tugas pewartaan Gereja ini bukan saja pewartaan verbal tetapi juga pewartaan melalui kesaksian hidup sebagai bentuk pewartaan yang ampuh dan sebagai daya dorong untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang nyata.[3] Partisipasi tersebut dapat dilakukan dengan mengambil bagian melalui tugas-tugas pelayanan Gerejani dalam kehidupan bersama umat di dalam kelompok basis. Kelompok umat basis merupakan tempat persemaian benih pewartaan sabda Allah sehingga Gereja tetap tumbuh, hidup dan berkembang.[4] Senada dengan itu dokumen Dialog dan Pewartaan menegaskan bahwa pewartaan adalah komunikasi pesan Injil, misteri keselamatan yang dilaksanakan Allah bagi semua orang dalam Yesus Kristus berkat kuasa Roh Kudus. Pewartaan merupakan suatu ajakan untuk menyerahkan diri dalam iman kepada Yesus Kristus dan melalui pembaptisan masuk ke dalam persekutuan kaum beriman yang adalah Gereja. Pewartaan biasanya terarah pada katekese yang bertujuan untuk memperdalam iman kepada Yesus Kristus. Pewartaan adalah dasar, pusat dan sekaligus puncak dari evangelisasi (DP 10). Dialog Pewartaan mencantumkan sejumlah kualitas yang justru mencirikan karya pewartaan itu sendiri. Kualitas-kualitas pewartaan itu adalah pertama; pewartaan yang meyakinkan, karena tugas mewartakan itu bukan berhubungan dengan perkataan manusia melainkan kesaksian tentang Firman Allah dan kehadiran Roh yang berkesinambungan di semua tempat dan dalam segala waktu. Kedua; pewartaan yang setia kepada amanat yang disampaikan Gereja yakni �yang secara mendalam bersifat Gerejawi�. Pewartaan itu mesti rendah hati yakni bahwa orang-orang yang mewartakan hanyalah �sarana� yang sempurna di dalam tangan Allah. Ketiga; penuh hormat dan dialogal yakni dengan kesadaran bahwa Allah sudah lebih dahulu berkarya sebelum kedatangan para misionaris (pewarta). Akhirnya pewartaan itu semestinya terinkulturasi oleh sikap hormat yang ada lebih dahulu dalam diri pewarta terhadap konteks budaya dan agama di mana Injil itu akan diajarkan.[5]
2. Diakonia (Pelayanan)
Diakonia berarti pelayanan. Terminologi diakonia ini berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja �diakon� yang berarti melayani. Tuhan Yesus sendiri amat pandai memilih kata yang tepat untuk menggambarkan eksistensi terdalam dari kehadiranNya di dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (bdk. Mat 20:28). Dari sebab itu, Santo Paulus menganggap pekerjaannya sebagai suatu �diakonia� artinya pelayanan dan dirinya sebagai �diakonos� artinya pelayan bagi Kristus (bdk. 2 Kor 11:23) serta bagi umat Kristus (bdk. Kol 1:25).[6]
Dari pemahaman di atas dapatlah kita mengerti mengapa Tuhan Yesus menegaskan bahwa hakekat dari pekerjaan melayani harus melekat dalam diri mereka yang dikhususkan sebagai pemimpin. Para rasul termasuk orang-orang yang dipilih dan dikhususkan Yesus untuk menjadi pemimpin umat. Spiritualitas dasar pemimpin umat menurut Yesus harus dicirikan dengan melayani bukan berkuasa dan memerintah. Para rasul adalah pemimpin umat yang sekaligus �diakonos� atau pelayan (bdk. Luk 22:25-27). Dengan kata lain para rasul adalah pemimpin yang melayani umat Allah. Tugas pelayanan para rasul dilanjutkan dalam pelayanan Gereja sebagai salah satu pilar eksistensinya.
Tugas pelayanan yang dilakukan oleh Gereja ini dilaksanakan dengan suka rela tanpa menuntut. Tujuannya ialah agar Gereja tumbuh dan berkembang ke arah yang semakin membebaskan dan menyelamatkan umat manusia. Santo Paulus dengan tepat mengungkapkan landasan pelayanan Gereja pada pola kehidupan dan pelayanan Yesus sendiri. Yesus dalam rupa Allah telah mengosongkan diriNya dan mengambil rupa seorang diakonos atau doulos (hamba) (bdk. Filipi 2:5-7). Oleh karena itu Gereja menggalakkan aktivitas pelayanan karena didorong oleh panggilan untuk mencintai Tuhan dan sesama. Dasarnya adalah karena Yesus sendiri sudah lebih dahulu melayani kita. Seluruh hidup Yesus selama 33 tahun ditandai oleh jiwa melayani. Tujuan hidup Yesus bukan untuk mendapatkan pelayanan tetapi memberikan pelayanan. Isi hidupNya bukan dilayani melainkan melayani. Seluruh Kitab Perjanjian Baru tidak pernah menggambarkan Yesus sebagai manusia yang mengandalkan kehormatan dan kuasa tetapi Tuhan yang melayani dan menghamba. Dia adalah sang diakonos (pelayan) dan bahkan doulos (hamba). Dengan demikian Gereja terpanggil untuk melayani dan bukan untuk berkuasa. Panggilan Gereja untuk mewujudnyatakan diakonia sebagai suatu panggilan relasional agar saling menolong dalam kesetikawanan. Suatu panggilan untuk memperjuangkan prinsip hidup memberi dan bukan mengambil demi kepentingan, kepuasan dan kekenyangan pribadi.[7]
Dalam perkembangan dan eksistensi Gereja dewasa ini, maka panggilan untuk melaksanakan diakonia bukan hanya menjadi tugas para pemimpin saja, melainkan juga dikembangkan di antara anggota Gereja Perdana. Semangat diakonia itu terungkap dan terlaksana dalam persaudaraan sejati yang dibangun di antara anggota umat. Hal itu amat jelas terwujud dalam tindakan berkumpul, menyatukan diri dalam prinsip hidup bersama yakni �segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama. Dan selalu dari antara mereka yang menjual harta miliknya, lalu dibagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing� (bdk. Kis 2:44-45; 4:32-37). Dewasa ini panggilan dan semangat untuk melaksanakan diakonia kemudian menjadi panggilan bagi semua umat beriman. Karena praksis diakonia diarahkan demi pengabdian kepada kepentingan umat Allah. Maka secara tidak langsung seluruh umat harus ikut mengambil bagian di dalam praksis diakonia ini. Praksis diakonia harus dijalankan oleh semua umat beriman Kristiani, mulai dari anak-anak, orang muda Katolik (pelajar dan juga mahasiswa-mahasiswi STP Dian Mandala) serta orang dewasa dan lanjut usia.
3. Koinonia (Paguyuban)
Koinonia adalah bahasa Yunani, berasal dari kata �koin� yang berarti mengambil bagian. Dalam perspektif biblis, koinonia diartikan sebagai paguyuban atau persekutuan (bdk. Kis. 2:41-42). Koinonia dapat diidentikan dengan sebuah paguyuban dalam melaksanakan sabda Tuhan. Suasana hidup dalam persekutuan tersebut ialah persekutuan hidup yang guyub dalam arti hidup rukun dan damai. Dan suasana hidup seperti itulah yang digambarkan oleh Tuhan Yesus dengan bersabda: �Saudara-saudaraKu ialah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan melaksanakannya� (Luk 8:21). Oleh karena itu dokumen Konsili Vatikan II pertama-tama menggambarkan Gereja bukan sebagai suatu institusi duniawi melainkan sebagai suatu persekutuan ataupun paguyuban umat beriman yang menerima dan meneruskan cahaya Kristus yang diwujudkan dalam warna dasar perbuatan atau amal yang baik dan berguna bagi sesama. Gereja sebagai sakramen yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan dalam kesatuan dengan seluruh umat manusia dihantar kepada segala kebenaran, dipersatukan dalam persekutuan serta pelayanan, dilengkapi dan dibimbing dengan aneka karunia hierarkis dan karismatis serta disemarakkan dengan buah-buahNya. Demikianlah seluruh Gereja tampak sebagai �Umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus (LG art 4)�. Selanjutnya Gereja mendapat arti dalam diri umat beriman Kristiani itu sendiri, di mana berkat sakramen Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus terhimpun dalam persekutuan atau paguyuban menjadi satu umat Allah. Dengan cara mereka sendiri, mereka ikut mengemban tri tugas Kristus di dunia ini sebagai imam, nabi dan rajawi Kristus (LG art 31). Dari gambaran ini dapatlah dimengerti bahwa semua umat Kristiani adalah umat Allah atau Gereja itu sendiri. Oleh karena itu setiap anggota dituntut untuk berpartisipasi dalam persekutuan atau paguyuban sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Sebab, dengan demikian Gereja akan tetap hidup, terpikat dan berkembang dalam dunia hingga keabadian. Koinonia memiliki konotasi sebagai milik bersama atau bersolidaritas. Dalam terang Sabda Tuhan syarat untuk membangun paguyuban Kristiani adalah orang-orang yang suka mendengarkan Sabda Allah dan berusaha melaksanakannya. Pelaksanaan Sabda Allah dapat berupa aktivitas pewartaan, liturgi, pelayanan, kesaksian dan berjuang untuk hidup dalam semangat rukun-guyub dan aktif dalam melakukan solidaritas. Hal ini dapat digambarkan secara gamblang dalam hidup seorang katekis atau seorang guru agama Katolik yang bertugas untuk melaksanakan katekese atau mengajar agama di stasi atau sekolah. Setiap hari Minggu berpartisipasi aktif dalam perayaan Ekaristi, bersedia membantu pelayanan kepada orang sakit dan sebagai warga setempat iapun wajib membangun hidup bersama yang rukun dan guyub.[8]
4. Leitourgia (Liturgi)
Liturgi berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari kata kerja �Leitourgian� (leos artinya rakyat dan ergon artinya kerja) yang berarti bekerja untuk kepentingan umum, kerja bakti atau gotong royong. Orang yang melakukan pekerjaan itu disebut �Leitourgos�. Dan pekerjaan luhur itu disebut �Leitourgia�. Dari pemahaman ini sekarang kita menggunakan kata �Liturgi� untuk Ekaristi dan ibadah. Dalam konteks pilar pelayanan Gereja liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk penghayatan iman demi mengungkapkan misteri Kristus serta hakikat asli pelayanan Gereja yang sejati.[9] Dengan demikian maka Liturgi itu sungguh mengagumkan, menguatkan tenaga umat beriman untuk mewartakan Kristus dan dengan sendirinya terpanggil mewartakannya juga kepada mereka yang berada di luar Gereja. Di pihak lain liturgi mendorong umat beriman supaya sesudah dipuaskan dengan sakramen-sakramen Paskah menjadi sehati dan sejiwa dalam kasih. Jadi Liturgi terutama Ekaristi, bagaikan sumber yang mengalirkan rahmat kepada umat beriman dan menjadi puncak kehidupan Gereja dalam seluruh aktivitas umat menuju kehidupan yang sejati.[10]
Dari pemahaman di atas maka sudah sepantasnya semua umat beriman Kristiani terdorong untuk berpartisipasi mengambil bagian dalam pelayanan liturgi Gereja demi rahmat dan berkat untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang. Konsili suci menasihati agar umat beriman tidak saja berpartisipasi, tetapi lebih dari itu menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaknya hati disesuaikan dengan apa yang mereka ucapkan dan bekerja sama dengan rahmat surgawi agar tidak sia-sia menerimanya. Keikutsertaan sepenuhnya harus berawal dari kesadaran mendalam dan keaktifan yang sadar dalam perayaan-perayaan liturgi yang dirayakan tersebut. Untuk itu dibutuhkan bimbingan dan arahan dari petugas pastoral (pemimpin paroki) sehingga dalam kegiatan liturgi tersebut tidak hanya dipatuhi hukum-hukum untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya umat beriman berpartisipasi merayakannya dengan kesadaran yang optimal, keaktifan yang gembira dan penuh makna bagi kehidupan jiwa dan raga.[11]
Perjamuan Ekaristi secara lahir memang kelihatan dari kerja bakti atau liturgi. Di dalam tata liturgi itulah kita merayakan Perjamuan Ekaristi Kudus. Di dalamnya umat beriman mengambil bagian dari hidup Kristus yang mulia. Dalam Perjamuan Ekaristi umat beriman disatukan dengan Kristus secara sakramental. Kristus juga menyatukan umat beriman satu sama lainnya di dalam perayaan kudus tersebut. Melalui dan dalam perayaan Ekaristi itulah kita menerima Tubuh dan Darah Kristus sendiri yang berenergi Ilahi untuk mendorong teguhnya persatuan dengan Kristus sendiri dan persatuan kita satu sama lain.
Dalam dan melalui peristiwa penerimaan Tubuh dan Darah Kristus justru Kristus sendiri membagikan Tubuh-Nya kepada setiap umat beriman yang hadir. Buah dari persatuan umat beriman dengan Yesus Kristus dalam perayaan suci itu mendorong umat beriman untuk menghadirkan Kristus kembali di tengah kehidupan sehari-hari dalam dan melalui perbuatan-perbuatan baik seperti rela berkorban dalam cinta kasih melalui karya pelayanan kepada sesama. Jadi secara spiritual kita didorong untuk membagikan roti diri kehidupan kita sendiri kepada sesama. Dengan demikian umat beriman yang telah bersatu dengan Kristus justeru selalu dibaharui untuk melakukan karya-karya Kristus sendiri. Karena itu Yesus sendiri mengundang umat beriman untuk selalu mengulang kembali peristiwa mulia itu; �Lakukan ini sebagai peringatan akan Daku� (1 Kor 11:24-26). Peringatan dalam bahasa Yunani adalah Anamnesis yakni menghadirkan misteri wafat dan kebangkitan Kristus. Sebab justru di dalam Perayaan Ekaristi tersebut Yesus sungguh hadir dalam SabdaNya dan Tubuh-DarahNya yang dibagikan sebagai santapan kehidupan kekal.
Paus Pius XII dan Paus Yohanes Paulus II sangat mengagumi dan menghargai Ekaristi. Hal itu dinyatakan dengan mengeluarkan ensiklik yang mengajarkan bagaimana Ekaristi suci dimaknai dalam kehidupan umat Kristiani. Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Ecclesia De Eucharistia menegaskan bahwa Ekaristi ditampilkan sebagai puncak segala sakramen dalam penyempurnaan persekutuan kita dengan Allah Bapa, oleh penyatuan diri kepada putera tunggalNya, lewat karya Roh Kudus. Oleh karena itu maka tak seorangpun diizinkan meremehkan misteri yang dipercayakan ke tangan kita. Misteri ini terlalu agung bagi siapapun untuk merasa bebas memperlakukannya secara ringan dan dengan mengabaikan kesucian serta universalitasnya.[12]
5. Martyria (Kesaksian)
Martyria berasal dari kata bahasa Yunani yakni �marturion� yang artinya kesaksian. Saksi sering diartikan sebagai orang yang melihat atau mengetahui suatu kejadian. Makna saksi merujuk kepada pribadi seseorang yang mengetahui atau mengalami suatu peristiwa dan mampu memberikan keterangan yang benar. Yesus adalah saksi yang memberikan �berita� tentang rencana Allah Bapa untuk menyelamatkan manusia. Dia-lah saksi yang setia dan benar (Why 3:14). Maka di depan Pilatus, Yesus mengakui bahwa Dia-lah Raja, namun kerajaan-Nya bukan dari dunia ini. Dia lahir dan datang ke dalam dunia, untuk memberikan kesaksian tentang apa yang dilihat dan didengarNya di hadirat BapaNya (Yoh 3:32). Para Rasul dipanggil Yesus untuk menjadi saksiNya mulai dari Yerusalem, Yudea dan Samaria bahkan sampai ke ujung bumi (Kis 1:8). Tetapi menjadi saksi Kristus bukan tanpa resiko. Bahkan Yesus sendiri telah menjadi martir atau saksi hidup karena melaksanakan kehendak Allah Bapa untuk membebaskan dan menebus umat manusia. Dalam perkembangan sejarah Gereja Katolik kita menemukan banyak orang telah merelakan hidupnya untuk mati sebagai martir demi mempertahankan imannya akan ajaran dan kesaksian hidup Yesus Kristus karena teladan hidup Yesus itu sendiri. Para martir bersaksi dengan caranya masing-masing untuk menyuburkan kehidupan Gereja hingga sekarang. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk memberikan kesaksian kepada seluruh dunia, mewartakan Injil kepada semua orang. Dan situasi zaman sekarang lebih mendesak Gereja untuk memberikan kesaksian secara profesional melalui kehadiran dalam fungsi sebagai garam dan terang dunia agar memanggil dan membaharui semua orang masuk ke dalam satu keluarga umat Allah. Gereja hadir bagi semua orang dan bangsa lengkap dengan tantangan realitanya maka melalui teladan hidup (kesaksian hidup), maupun pewartaannya, dan dengan sakramen-sakramen serta daya-daya rahmat surgawi, Tuhan menghantarkan semua orang dan bangsa kepada iman, kebebasan dan damai Kristus (Bdk. LG art. 1).
Oleh karena itu kesaksian Gereja atau umat Allah hendaknya berbuah dan berhasil ketika mereka menggabungkan diri sebagai anggota masyarakat di lingkungannya dengan sikap penghargaan dan cinta kasih, ikut serta dalam kehidupan budaya dan sosial melalui pelbagai kegiatan (AG art 1). Point kesaksian yang hendak dibidik adalah agar anggota masyarakat dihantar kepada kerinduan akan kebenaran dan cinta kasih yang diwahyukan oleh Allah. Hendaknya seperti Kristus yang berkeliling sambil berbuat baik (bdk. Mat 9:35) demikian juga Gereja membangun relasi dengan semua orang, khususnya dengan mereka yang miskin dan tertimpa kemalangan dan dengan sukarela mengorbankan diri untuk mereka (bdk. 2 Kor 12:15). Hendaknya Gereja � umat beriman, juga memberikan kesaksian dengan membaktikan diri secara tepat dalam bidang-bidang kemasyarakatan dan secara istimewa bagi pendidikan anak-anak dan kaum muda untuk memerangi kebodohan dan menciptakan kondisi hidup yang lebih baik. Dalam semua itu, haruslah dicamkan bahwa Gereja tidak bermaksud mencampuri urusan pemerintahan tetapi memberikan kesaksian yang benar tentang Kristus dan berkarya demi keselamatan sesama manusia.[13] Akhirnya cermatilah dengan hati bersih dan pikiran jernih serta belajar dari kesaksian hidup para martir bahwa pola kesaksian hidup kita dalam arus globalisasi dunia zaman ini selalu disertai dengan salib yang harus dipikul. Tetapi siapa yang bertahan dia akan menang (bdk. Lukas 21:18-19).
Kita semua, umat beriman Kristiani yang telah dibaptis dipanggil menjadi saksi-saksi Kristus. Jadi ternyata menjadi saksi Tuhan bukan hanya milik hirarki. Jika kita membaca riwayat hidup para kudus, kebanyakan dari mereka adalah para awam yang berani memberikan kesaksian untuk mempertahankan imannya bahkan dengan resiko kematian. Kita ambil contoh kesaksian Santa Monika yang berhadapan dengan suami dan puteranya yang kafir. Kesaksiannya akhirnya dijawab Tuhan dengan pembaptisan suami dan anaknya menjadi Uskup terkenal. Santa Agnes yang setia kepada Kristus justru berhadapan dengan pemimpin kafir yang menjatuhkan tuduhan karena menolak menyembah berhala. Akhirnya berkat kesaksiannya, Santa Agnes yang setia kepada Kristus harus dihukum mati. Boleh dikatakan bahwa baru pada tahun 1965 Gereja memikirkan secara sistematis dengan mengeluarkan dekrit tentang Kerasulan Awam. Namun sebelum itu terjadi di banyak tempat dan lingkup umat tertentu bahwa Gereja itu diidentikan dengan Uskup dan Pastor. Artinya yang memberikan kesaksian hanyalah kaum berjubah. Padahal Gereja telah menyadari bahwa kita semua termasuk para awam memperoleh tugas dan hak atas kerasulan dari persatuan dengan Kristus. Oleh sakramen pembaptisan mereka bagai dicangkokkan ke dalam Tubuh Mistik Kristus dan dikukuhkan oleh Roh Kudus dalam Sakramen Krisma atau Penguatan.[14]
[1]Konferensi Wali Gereja Indonesia. Buku Iman Katolik - Buku Informasi Dan Referensi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 382.
[2]Ladislao Csonka. Menyusuri Sejarah Pewartaan Gereja, (Judul asli: Storia Della Catechesi), diterjemahkan oleh P. F.X. Adisusanto, SJ, (Jakarta: Komisi Kateketik KWI, 2010), hlm. 5-6.
[3]Felipe Gomez, SJ., The Good Shepherd, Cardinal Bea Institute, (Ateneo De Manila University, Quezon City, Philippines: 1997), hlm. 102-104.
[4]Mereka inilah umat dan kepada merekalah Injil, Kabar Gembira Kerajaan, Kabar Gembira pembebasan diwartakan {Lih. Yanuarius Seran, Pr. M.Hum., Pengembangan Komunitas Basis - Cara Baru Menjadi Gereja Dalam Rangka Evangelisasi Baru, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007), hlm.42}.
[5]Stephen B. Brevens & Roger P. Schroeder. Terus Berubah-Tetap Setia, Dasar, Pola, Konteks Misi, (Judul asli: Theology of Mission for Today), diterjemahkan oleh Yosef Maria Florisan, (Maumere:Ledalero, 2006), hlm. 608-611.
[6]Andar Ismail. Selamat Melayani Tuhan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 3.
[7]Drs. Philipus Tule, Lic., Agama-agama Kerabat Dalam Semesta, Wilhelmus Djulei, Lic (Editor), (Ende: Nusa Indah, 1994), hlm. 129-143.
[8]Suwita, Pr., Seri Pancatugas Gereja Bidang: Paguyuban, (Malang:Dioma, 2003), hlm. 3-19.
[9]Ibid hlm. 1-2.
[10]Ibid hlm. 7.
[11]Ibid hlm. 8-9.
[12]Konferensi Waligereja Indonesia. Ecclesia De Eucharistia (Ekaristi dan Hubungannya dengan Gereja), Seri Dokumen Gerejawi No. 67, Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFM.Cap (Penerj.), (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005), hlm. 30-43.
[13]Ibid, hlm. 426-429.
[14]Suwita, Pr., Seri Pancatugas Gereja Bidang: Kesaksian, (Malang: Dioma, 2003), hlm. 22-44.
Post a Comment